Berita

Berita Detail

Manusia dan Alam, Refleksi Akhir Tahun Bagi Anggota DPRD Bangkalan

Upload by Admin - 30 Desember 2021

SEBAGAI seorang wakil rakyat, Asis, memiliki pandangan dalam refleksi akhir tahun ini. Menurutnya, di penghujung tahun ini serangkaian peristiwa bencana alam seperti tanah longsor, banjir bandang, dan eropsi gunung merapi datang silih berganti menimpa negeri ini. Hal ini semakin menandaskan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang sejatinya rawan bencana. 

Meskipun demikian, kata Asis, penting bagi semua untuk memahami pola terjadinya bencana alam, dan bersama-sama merumuskan kebijakan yang paling tepat setiap kali terjadi bencana alam, untuk dapat mengurangi jumlah korban jiwa serta dampak kerusakan akibatnya.  

Namun di samping itu, lanjut Asis, terjadinya bencana alam tidak terlepas dari akibat kegagalan proyek manusia modern selama ini menekankan pada industrialisasi. 

"Dalam hal ini, alam pemikiran modern telah membuat manusia tidak hanya teralienasi dengan Tuhannya melainkan juga dengan alam. Penolakan manusia terhadap metafisik, entah Tuhan, norma, atau moral telah membuat manusia menjadikan alam sebagai objek," katanya, Kamis (30/12/2021).

Anggota Komisi D DPRD Bangkalan ini mengatakan, kehidupan yang demikian pada akhirnya mengakibatkan pelbagai kerusakan terhadap yang semakin tak berkesudahan. 

"Dengan kata lain, atas nama pembangunan, moralitas tak kuasa lagi mengatur perilaku manusia. Di sini manusia yang hidup dalam ikilm kebebasan ingin mengatur alam sekehendak hatinya," ungkapnya. 

Bagi mereka, ucap Politisi Partai Demokrat ini, moralitas akan membatasi kehendak bebas manusia. Kehidupan di planet bumi dipandang sebatas kebetulan, bukan sebagai khalifahtullah atau wakil Allah yang bertugas untuk melestarikan alam. 

"Dalam Dogma Modernitas, Max Horkheimer percaya bahwa masa depan dunia tergantung sikap kritis manusia saat ini.  Dengan kata lain, kalau ingin masa depan yang lebih baik maka kita harus keluar dari kungkungan ideologi dan dogma," cetus Asis.

Menurutnya, dalam hal moralitas, merujuk Jὒrgen Habermas, sah atau tidaknya suatu pandangan moral bergantung pada kesepakatan (diskursus) bersama, sepanjang tak ada tekanan dan paksaan. 

"Dalam konsep ini, bagi manusia modern benar atau tidaknya suatu pandangan moral tolak ukurnya adalah rasionalitas manusia, bukan pandangan keagamaan," paparnya.

Dua pemikir tersebut, ungkap Asis, mencerminkan pemberontakan manusia modern terhadap konsep ketuhanan (ilahiah) dan moralitas (akhlak). Mereka percaya bahwa kebahagiaan dapat diraih melalui kematangan pikiran. 

"Rasa cemas tentang kehancuran alam semesta dapat diatasi dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Baik buruknya perbuatan seseorang dikembalikan pada kesepakatan bersama," tandasnya.

Namun, pada situasi yang demikian apakah kepuasan batin manusia cukup dengan menuruti hawa nafsu dan pikiran? menurut pandangannya, tentu saja tidak. Sebab, manusia berbeda dengan binatang, tidak memiliki konflik batin. 

"Manusia, sekali dua kali (mungkin) mampu bertahan menghadapi goncangan jiwa meskipun bencana alam datang bertubi-tubi. Namun, ketika mekanisme penyesuaian dirinya hilang, dalam kondisi demikian kecerdasan spiritual (emotional spiritual quostient), terbukti jauh lebih ampuh dibanding kecerdasan intelektual (intelegent quotient)," ujarnya.

"Dalam kaitan ini, akal manusia bagaimanapun tak mampu mengobati jiwa-jiwa yang resah dan keputusasaan. Pada titik inilah pemikiran Barat gagal memberikan ketenangan, ketentraman, dan kedamaian lahir-batin," imbuh Asis.

Asis melanjutkan, sebagai bangsa timur, lalu apa makna dogma modernitas bagi bangsa ini, modernitas telah melupakan sejatining urip manusia di jagad semesta ini. Marginalisasi nilai-nila agama menjadikan manusia sebagai pemuja fisik-material. 

"Pencerabutan norma agama membuat sistem kehidupan kita menjadi kehilangan rujukan. Tentang ini, seolah-olah kita seperti anak kecil yang keasyikan bermain mengejar layang-layang, sehingga terlampau jauh berlari dan akibatnya lupa jalan pulang," jelasnya.

Dalam kaitannya dengan kerusakan alam, ujar Asis, pada surah Ar-Rum, ayat 41, Allah SWT telah memberikan alarm kepada manusia tentang adanya kerusakan, baik di lautan maupun di daratan, karena akibat perbuatan manusia, dan kemudian Allah menurunkan musibah sebagai akibatnya agar manusia kembali ke jalan yang benar. 

Oleh karenanya, manusia sebagai khalifatullah di muka bumi memiliki tugas untuk memakmurkannya, bukan justru sebaliknya mengeksploitasi alam sekendak hati. 

"Alam semesta ini, Allah ciptakan dengan keteraturan, maka manusia sebagai wakil Allah mendapatkan tugas untuk menata dan melestarikan demi menjaga terpeliharanya keteraturan atau keseimbangan sunnatullah terhadap alam," tandasnya.

Pada konteks di atas, fenomena kerusakan alam memiliki pengaruh terhadap perubahan iklim yang telah menjadi permasalahan abad ini. Pelanggaran terhadap sunnatullah (hukum kausalitas), diantaranya telah menimbulkan pemusnahan pelbagai keberagaman hayati, terjadinya krisis air bersih, meningkatkan polusi udara, dan menyebabkan terjadinya emisi gas rumah kaca. 

"Melihat kenyataan tersebut, maka upaya yang dapat kita lakukan untuk mengurangi laju kerusakan alam semesta ini, setidaknya bisa dilakukan melalui dua hal, yaitu struktural dan kultural," ucap Asis.

Pertama, pencegahan secara struktural dapat dilakukan, misalya, dengan tidak gampang memberikan izin ekploitasi pada titik-titik wilayah yang rawan bencana. 

"Pada contoh ini kita bisa melihat terhadap kasus lumpur Lapindo dimana sejak 2006 sampai detik ini telah menjadi petaka bagi warga Porong (Sidoarjo)," katanya.

Kedua, lanjutnya, pendekatan secara kultural dapat dilakukan dengan dimulai dari unit yang terkecil yakni rumah tangga. 

"Misalnya dengan tidak menebang pohon, mengurangi penggunaan kantong plastik, tidak membuang sampah sembarangan, dan kebiasaan-kebiasaanya lain yang memiliki dampak negatif terhadap lingkungan," tutup Asis.(dul)